PESTA PANEN SUKU DAYAK
A. "Mahanyari", Pesta Panen Suku Dayak Meratus (Kalimantan Selatan)
A. "Mahanyari", Pesta Panen Suku Dayak Meratus (Kalimantan Selatan)
Mahanyari" adalah pesta panen padi bagi masyarakat Dayak
Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Mahanyari merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan atas panen dan berkah yang diberikan. Mahanyari (hanyar baru)
artinya memulai panen padi pada tahun itu. Padi sangat dihargai keberadaannya
oleh Dayak Meratus, sehingga ketika menanam dan memanen dilakukan acara adat
atau ritual, katanya. "Acara itu dilakukan baik secara berkelompok maupun
secara individual oleh setiap keluarga," .
Mahanyari yang dilakukan secara berkelompok dan dilakukan di
Balai Adat disebut Aruh. Acara Mahanyari disediakan berbagai bahan
sesajin yang akan dibawa ke pehumaan di Tihang Bekambang (tiang bambu kuning
yang dihiasi bunga dan dadaunan) yang telah disiapkan.
Salah satu alat dalam acara tersebut disebut "Tihang
Bakambang" terdiri dari tiang berupa bambu kuning, bagian paling atas
melambangkan huruf atau kepala manusia yang disebut songkol. Di bawah songkol
terdapat daun sejenis palem yang disebut daun Risi dan ditambah kembang merah
(habang). Pada bagian tengah berupa papan bundar berdiameter 70 cm tempat
menyimpan berbagai sesajian disebut "Dulang Campan" yang melambangkan
bumi.
Sesajian disimpan di atas Dulang Campan terdiri dari darah ayam
di tempurung kelapa, wajit, minyak kelapa, dodol ketan, darah ayam, air kunyit
yang diletakkan di Campan serta gulungan daun teureup (sukun hutan) yang
didalamnya terdapat daun mada, daun risi, buah merah/hiba hibak, daun ribu
ribu, daun binturung, daun buluh, daun sirih benaik, daun singgae singgae.
Belian (dukun) memulainya dengan membaca mantra yang pada
dasarnya adalah doa dan pemujaan kepada Tuhan atas berkah panen padi yang
diberikan. Ayam dipotong di bawah Dulang Campan. Ayam dipersembahkan kepada
Tuhan dimana darahnya dikucurkan dibawah Tihang Bekambang di tanah dan di
tiang bambu kuning.
Selanjutnya ayam yang telah dipotong itu dibawa ke pondok untuk
dimasak dan dimakan bersama. Setelah itu, Belian membawa berbagai bahan
sesajian dan gulungan daun ke pondok/rumah dan disimpan di dekat lumbung padi.
Sesajin diletakkan di dekat lumbung padi di rumah/pondok.
Selanjutnya para tetua kampung dan Belian membaca mantra-mantra yang isinya
adalah rasa syukur dan permohonan keselamatan pada Tuhan atas berkah dan
panen padi yang melimpah dan dapat dimakan oleh anggota keluarga dengan selamat.
B. Tradisi Lom Plai, Suasana Magis Pesta Panen Suku
Dayak Wehea (Kalimantan Timur)
Tradisi pesta panen atau tradisi Lom Plai dengan serangkaian
ritual dilaksanakan oleh Suku Dayak Wehea di Kalimantan Timur. Tradisi unik
yang terkadang terasa mistis menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan. Saat fajar mulai menyingsing, kesibukan mulai terlihat
hampir di seluruh pelosok Desa Long Wehea, Kalimantan Timur. Deretan
rumah-rumah panggung, seolah serentak bangun dari tidurnya untuk menyambut
puncak ritual pesta panen (Lom Plai) yang telah ditunggu selama sebulan penuh.
Semuanya pun larut dalam kesibukan berbalut suasana kegembiraan.
Pesta panen (Lom Plai) tiba, para tamu dari berbagai kampung
akan datang. Pertanda pesta puncak Lom Plai segera dimulai. Seluruh warga di
setiap rumah seakan berlomba untuk menyambut tamu, kerabat, atau orang-orang
yang sekadar datang untuk menyaksikan ritual puncak nan unik ini.
Pada pagi hari, seluruh warga larut dalam kesibukan
masing-masing. Para tamu dari luar kampung pun mulai berdatangan. Teriakan
dalam bahasa Wehea mulai membahana, memanggil warga untuk berkumpul di beberapa
tempat yang telah ditentukan.
Beragam persiapan telah selesai dipersiapkan untuk menggelar
ritual. Di tepi Sungai Wehea, tampak beberapa perahu telah ditepikan. Ritual
pertama pun siap digelar. Prosesi pertama yang akan dilakukan sebelum acara
puncak adalah Seksiang. Seksiang adalah sebuah ritual perang-perangan dalam
tradisi masyarakat Wehea yang selalu dilaksanakan pada puncak pesta panen
tersebut sekaligus sebagai perlambang kesatriaan pendahulu mereka dimasa lalu.
Dengan berkelompok mereka menuruni titian dan jembatan panjang
menuju tepian sungai tempat perahu ditambat. Para peserta upacara mengenakan
pakaian tradisional yang dilengkapi dengan mandau atau sejenis parang dan
perisai. Kemudian, satu persatu perserta ritual menaiki perahu untuk menuju ke
hulu sungai.
Perlahan dayung pun dikayuh. Puluhan perahu berlomba menuju hulu
sungai yang berada di sebuah tanjung untuk mengambil batang-batang sejenis
rumput gajah bernama weheang. Keriuhan akibat teriakan-teriakan khas suku Wehea
menjadi pelengkap persiapan. Mereka berlomba untuk memenuhi seisi perahu dengan
tombak Weheang. Bayang-bayang peperangan terbersit dalam rona muka para pemuda
Wehea. Sebentar lagi, mereka akan mempertontonkan serta melanjutkan tradisi
para pendahulu mereka.
Semuanya telah siap melakukan perang! Mereka mengayuh perahu
menuju bagian tengah sungai disertai teriakan-teriakan sekaligus mencari
tantangan untuk memulai ritual. Semuanya berlomba untuk menunjukan siapa yang
paling kuat di antara mereka. Sungai Wehea pun berubah menjadi medan perang.
Puluhan tombak Weheang seolah beterbangan mencari sasaran.
Para pengunjung pun seakan tidak ingin melewatkan momen
tersebut. Mereka berjejer di tepi sungai dan jembatan kampung. Wisatawan dan
masyarakat desa berbaur untuk menyaksikan para pemuda beradu ketangkasan dalam
melempar tombak Weheang. Namun, dalam ritual ini tidak ada yang menang ataupun
kalah. Semuanya berakhir dan merapat tepat di bagian hilir kampung. Raut muka
lelah membungkus wajah para pemuda yang ikut berperang.
Episode awal dari ritual puncak telah dilewati. Kini, saatnya
untuk membersihkan diri melalui ritual lainnya, yaitu dalam ritual Peknai.
Ritual ini diisi dengan acara siram-siaraman dan menggoreskan arang pada wajah
semua warga termasuk pengunjung.
Setelah semua ritual awal dilaksanakan, saatnya beristirahat.
Tanpa perlu membersihkan wajah yang penuh dengan goresan arang hitam, mereka
larut dalam kegembiraan bersama. Seluruh rumah menyediakan aneka makanan yang dapat
disantap oleh siapa saja. Tidak ketinggalan, makanan khas yang menjadi menu
wajib dalam semua ritual adat Wehea, yaitu pluq (lemang) dan sambal psooh
tersaji dan menggugah selera setiap pengunjung.
Jelang sore, kampung semakin ramai, para pengunjung pun mulai
berdatangan dan memenuhi tanah lapang tempat ritual Lom Plai dilaksanakan. Para
tetua adat laki-laki dan perempuan dengan pakaian tradisional Wehea pun mulai
memasuki lokasi ritual.
Berjalan perlahan menuju sebuah telkeak yang didirikan sebagai
tempat manaruh sesajen. Sesajen-sesajen yang tersebut akan dipersembahkan
kepada para penguasa alam.
Sementara itu, terdengar jelas paluhan gong dan tetabuhan tewung
dari dua arah berlawanan menjadi pertanda Hudoq telah datang. Suara-suara khas
Hudoq mulai terdengar, hentakan kaki beradu dengan bunyi-bunyian gong dan
tewung.
Kibasan pakaian khas Hudoq yang terbuat dari daun pisang serta
beragam topeng Hudoq dan teriakan-teriakan khasnya menciptakan suasana yang
berbeda sore ini. Kedua barisan penari akan bersatu dalam sebuah barisan
panjang menuju telkeak dan berdiri di belakang para tetua adat perempuan yang
duduk di atas tikar rotan.
Sekaranglah saatnya untuk memanggil roh Hudoq yang dipercaya
berasal dari dalam tanah, air dan khayangan. Suara nyanyian dari para perempuan
adat membahana di seantero areal ritual.
Mantra dan doa dalam bentuk nyanyian pun mulai dilafalkan.
Bersamaan dengan itu, sesajen untuk para dewa telah disiapkan. Seekor anak ayam
Sian, ditambah dengan telur ayam kampung serta lekok keptiaq, turut menjadi
pelengkap yang dipersembahkan. Menggunakan sebilah pisau khas suku Dayak,
seorang tetua adat mulai memotong leher anak ayam. Kemudian, darahnya dimasukan
pada sebuah wadah untuk persembahan kepada para Hudoq. Secara berurutan, darah
ayam dicerahkan pada seluruh penari Hudoq disertai taburan beras serta lekok
keptiaq. Bersamaan dengan itu suara para penari Hudoq pun kembali membahana
dalam ritual Lom Plai.
Hentakan kaki serta suara-suara khas bergema dan perlahan
membentuk sebuah formasi melingkar. Semuanya menyatu dalam gerak dan irama
paluhan gong dan tetabuhan tewung.
Suasana semakin meriah, saat Hudoq beraksi. Ribuan pasang mata
seolah tidak ingin berkedip atau sekadar menonton momen tersebut. Para Hudoq
benar-benar menjadi magis dalam ritual puncak. Gerak tari para penari Hudoq
seakan membius siapa saja yang menyaksikannya tidak terkecuali para fotograger
yang tidak ingin kehilangan momen sedetik pun.
Saat sore mendekati senja, ritual diselesaikan. Perlahan, para
penari Hudoq serta penari lainnya meninggalkan tempat ritual untuk kembali lagi
bersama dalam ritual yang berbeda saat embos epaq plai. Ini pun menjadi
pertanda berakhirnya rangkaian ritual panjang selama Pesata Lom Plai.