Rabu, 16 Mei 2012

Pesta Panen Suku Dayak

PESTA PANEN SUKU DAYAK



   A.  "Mahanyari", Pesta Panen Suku Dayak Meratus (Kalimantan Selatan)


Mahanyari" adalah pesta panen padi bagi masyarakat Dayak Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Mahanyari merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan  atas panen dan berkah yang diberikan. Mahanyari (hanyar baru) artinya memulai panen padi pada tahun itu. Padi sangat dihargai keberadaannya oleh Dayak Meratus, sehingga ketika menanam dan memanen dilakukan acara adat atau ritual, katanya. "Acara itu dilakukan baik secara berkelompok maupun secara individual oleh setiap keluarga," .
Mahanyari yang dilakukan secara berkelompok dan dilakukan di Balai Adat disebut Aruh. Acara Mahanyari disediakan berbagai  bahan sesajin yang akan dibawa ke pehumaan di Tihang Bekambang (tiang bambu kuning yang dihiasi bunga dan dadaunan) yang telah disiapkan.
Salah satu alat dalam acara tersebut disebut "Tihang Bakambang" terdiri dari tiang berupa bambu kuning, bagian paling atas melambangkan huruf atau kepala manusia yang disebut songkol. Di bawah songkol terdapat daun sejenis palem yang disebut daun Risi dan ditambah kembang merah (habang). Pada bagian tengah berupa papan bundar berdiameter 70 cm tempat menyimpan berbagai sesajian disebut "Dulang Campan" yang melambangkan bumi.
Sesajian disimpan di atas Dulang Campan terdiri dari darah ayam di tempurung kelapa, wajit, minyak kelapa, dodol ketan, darah ayam, air kunyit yang diletakkan di Campan serta gulungan daun teureup (sukun hutan) yang didalamnya terdapat daun mada, daun risi, buah merah/hiba hibak, daun ribu ribu, daun binturung, daun buluh, daun sirih benaik, daun singgae singgae.
Belian (dukun) memulainya dengan membaca mantra yang pada dasarnya adalah doa dan pemujaan kepada Tuhan atas berkah panen padi yang diberikan. Ayam dipotong di bawah Dulang Campan. Ayam dipersembahkan kepada Tuhan  dimana darahnya dikucurkan dibawah Tihang Bekambang di tanah dan di tiang bambu kuning.
Selanjutnya ayam yang telah dipotong itu dibawa ke pondok untuk dimasak dan dimakan bersama. Setelah itu, Belian membawa berbagai bahan sesajian dan gulungan daun ke pondok/rumah dan disimpan di dekat lumbung padi.
Sesajin diletakkan di dekat lumbung padi di rumah/pondok. Selanjutnya para tetua kampung dan Belian membaca mantra-mantra yang isinya adalah rasa syukur dan permohonan keselamatan pada Tuhan  atas berkah dan panen padi yang melimpah dan dapat dimakan oleh anggota keluarga dengan selamat.

B.  Tradisi Lom Plai, Suasana Magis Pesta Panen Suku Dayak Wehea (Kalimantan Timur)

Tradisi pesta panen atau tradisi Lom Plai dengan serangkaian ritual dilaksanakan oleh Suku Dayak Wehea di Kalimantan Timur. Tradisi unik yang terkadang terasa mistis menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan. Saat fajar mulai menyingsing, kesibukan mulai terlihat hampir di seluruh pelosok Desa Long Wehea, Kalimantan Timur. Deretan rumah-rumah panggung, seolah serentak bangun dari tidurnya untuk menyambut puncak ritual pesta panen (Lom Plai) yang telah ditunggu selama sebulan penuh. Semuanya pun larut dalam kesibukan berbalut suasana kegembiraan.
 Pesta panen (Lom Plai) tiba, para tamu dari berbagai kampung akan datang. Pertanda pesta puncak Lom Plai segera dimulai. Seluruh warga di setiap rumah seakan berlomba untuk menyambut tamu, kerabat, atau orang-orang yang sekadar datang untuk menyaksikan ritual puncak nan unik ini.
Pada pagi hari, seluruh warga larut dalam kesibukan masing-masing. Para tamu dari luar kampung pun mulai berdatangan. Teriakan dalam bahasa Wehea mulai membahana, memanggil warga untuk berkumpul di beberapa tempat yang telah ditentukan.
Beragam persiapan telah selesai dipersiapkan untuk menggelar ritual. Di tepi Sungai Wehea, tampak beberapa perahu telah ditepikan. Ritual pertama pun siap digelar. Prosesi pertama yang akan dilakukan sebelum acara puncak adalah Seksiang. Seksiang adalah sebuah ritual perang-perangan dalam tradisi masyarakat Wehea yang selalu dilaksanakan pada puncak pesta panen tersebut sekaligus sebagai perlambang kesatriaan pendahulu mereka dimasa lalu.
Dengan berkelompok mereka menuruni titian dan jembatan panjang menuju tepian sungai tempat perahu ditambat. Para peserta upacara mengenakan pakaian tradisional yang dilengkapi dengan mandau atau sejenis parang dan perisai. Kemudian, satu persatu perserta ritual menaiki perahu untuk menuju ke hulu sungai.
Perlahan dayung pun dikayuh. Puluhan perahu berlomba menuju hulu sungai yang berada di sebuah tanjung untuk mengambil batang-batang sejenis rumput gajah bernama weheang. Keriuhan akibat teriakan-teriakan khas suku Wehea menjadi pelengkap persiapan. Mereka berlomba untuk memenuhi seisi perahu dengan tombak Weheang. Bayang-bayang peperangan terbersit dalam rona muka para pemuda Wehea. Sebentar lagi, mereka akan mempertontonkan serta melanjutkan tradisi para pendahulu mereka.
Semuanya telah siap melakukan perang! Mereka mengayuh perahu menuju bagian tengah sungai disertai teriakan-teriakan sekaligus mencari tantangan untuk memulai ritual. Semuanya berlomba untuk menunjukan siapa yang paling kuat di antara mereka. Sungai Wehea pun berubah menjadi medan perang. Puluhan tombak Weheang seolah beterbangan mencari sasaran.
Para pengunjung pun seakan tidak ingin melewatkan momen tersebut. Mereka berjejer di tepi sungai dan jembatan kampung. Wisatawan dan masyarakat desa berbaur untuk menyaksikan para pemuda beradu ketangkasan dalam melempar tombak Weheang. Namun, dalam ritual ini tidak ada yang menang ataupun kalah. Semuanya berakhir dan merapat tepat di bagian hilir kampung. Raut muka lelah membungkus wajah para pemuda yang ikut berperang.
Episode awal dari ritual puncak telah dilewati. Kini, saatnya untuk membersihkan diri melalui ritual lainnya, yaitu dalam ritual Peknai. Ritual ini diisi dengan acara siram-siaraman dan menggoreskan arang pada wajah semua warga termasuk pengunjung.
Setelah semua ritual awal dilaksanakan, saatnya beristirahat. Tanpa perlu membersihkan wajah yang penuh dengan goresan arang hitam, mereka larut dalam kegembiraan bersama. Seluruh rumah menyediakan aneka makanan yang dapat disantap oleh siapa saja. Tidak ketinggalan, makanan khas yang menjadi menu wajib dalam semua ritual adat Wehea, yaitu pluq (lemang) dan sambal psooh tersaji dan menggugah selera setiap pengunjung.
Jelang sore, kampung semakin ramai, para pengunjung pun mulai berdatangan dan memenuhi tanah lapang tempat ritual Lom Plai dilaksanakan. Para tetua adat laki-laki dan perempuan dengan pakaian tradisional Wehea pun mulai memasuki lokasi ritual.
Berjalan perlahan menuju sebuah telkeak yang didirikan sebagai tempat manaruh sesajen. Sesajen-sesajen yang tersebut akan dipersembahkan kepada para penguasa alam.
Sementara itu, terdengar jelas paluhan gong dan tetabuhan tewung dari dua arah berlawanan menjadi pertanda Hudoq telah datang. Suara-suara khas Hudoq mulai terdengar, hentakan kaki beradu dengan bunyi-bunyian gong dan tewung.
Kibasan pakaian khas Hudoq yang terbuat dari daun pisang serta beragam topeng Hudoq dan teriakan-teriakan khasnya menciptakan suasana yang berbeda sore ini. Kedua barisan penari akan bersatu dalam sebuah barisan panjang menuju telkeak dan berdiri di belakang para tetua adat perempuan yang duduk di atas tikar rotan.
Sekaranglah saatnya untuk memanggil roh Hudoq yang dipercaya berasal dari dalam tanah, air dan khayangan. Suara nyanyian dari para perempuan adat membahana di seantero areal ritual.
Mantra dan doa dalam bentuk nyanyian pun mulai dilafalkan. Bersamaan dengan itu, sesajen untuk para dewa telah disiapkan. Seekor anak ayam Sian, ditambah dengan telur ayam kampung serta lekok keptiaq, turut menjadi pelengkap yang dipersembahkan. Menggunakan sebilah pisau khas suku Dayak, seorang tetua adat mulai memotong leher anak ayam. Kemudian, darahnya dimasukan pada sebuah wadah untuk persembahan kepada para Hudoq. Secara berurutan, darah ayam dicerahkan pada seluruh penari Hudoq disertai taburan beras serta lekok keptiaq. Bersamaan dengan itu suara para penari Hudoq pun kembali membahana dalam ritual Lom Plai.
Hentakan kaki serta suara-suara khas bergema dan perlahan membentuk sebuah formasi melingkar. Semuanya menyatu dalam gerak dan irama paluhan gong dan tetabuhan tewung.
Suasana semakin meriah, saat Hudoq beraksi. Ribuan pasang mata seolah tidak ingin berkedip atau sekadar menonton momen tersebut. Para Hudoq benar-benar menjadi magis dalam ritual puncak. Gerak tari para penari Hudoq seakan membius siapa saja yang menyaksikannya tidak terkecuali para fotograger yang tidak ingin kehilangan momen sedetik pun.
Saat sore mendekati senja, ritual diselesaikan. Perlahan, para penari Hudoq serta penari lainnya meninggalkan tempat ritual untuk kembali lagi bersama dalam ritual yang berbeda saat embos epaq plai. Ini pun menjadi pertanda berakhirnya rangkaian ritual panjang selama Pesata Lom Plai.