Rabu, 16 Mei 2012

Pesta Panen Suku Dayak

PESTA PANEN SUKU DAYAK



   A.  "Mahanyari", Pesta Panen Suku Dayak Meratus (Kalimantan Selatan)


Mahanyari" adalah pesta panen padi bagi masyarakat Dayak Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Mahanyari merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan  atas panen dan berkah yang diberikan. Mahanyari (hanyar baru) artinya memulai panen padi pada tahun itu. Padi sangat dihargai keberadaannya oleh Dayak Meratus, sehingga ketika menanam dan memanen dilakukan acara adat atau ritual, katanya. "Acara itu dilakukan baik secara berkelompok maupun secara individual oleh setiap keluarga," .
Mahanyari yang dilakukan secara berkelompok dan dilakukan di Balai Adat disebut Aruh. Acara Mahanyari disediakan berbagai  bahan sesajin yang akan dibawa ke pehumaan di Tihang Bekambang (tiang bambu kuning yang dihiasi bunga dan dadaunan) yang telah disiapkan.
Salah satu alat dalam acara tersebut disebut "Tihang Bakambang" terdiri dari tiang berupa bambu kuning, bagian paling atas melambangkan huruf atau kepala manusia yang disebut songkol. Di bawah songkol terdapat daun sejenis palem yang disebut daun Risi dan ditambah kembang merah (habang). Pada bagian tengah berupa papan bundar berdiameter 70 cm tempat menyimpan berbagai sesajian disebut "Dulang Campan" yang melambangkan bumi.
Sesajian disimpan di atas Dulang Campan terdiri dari darah ayam di tempurung kelapa, wajit, minyak kelapa, dodol ketan, darah ayam, air kunyit yang diletakkan di Campan serta gulungan daun teureup (sukun hutan) yang didalamnya terdapat daun mada, daun risi, buah merah/hiba hibak, daun ribu ribu, daun binturung, daun buluh, daun sirih benaik, daun singgae singgae.
Belian (dukun) memulainya dengan membaca mantra yang pada dasarnya adalah doa dan pemujaan kepada Tuhan atas berkah panen padi yang diberikan. Ayam dipotong di bawah Dulang Campan. Ayam dipersembahkan kepada Tuhan  dimana darahnya dikucurkan dibawah Tihang Bekambang di tanah dan di tiang bambu kuning.
Selanjutnya ayam yang telah dipotong itu dibawa ke pondok untuk dimasak dan dimakan bersama. Setelah itu, Belian membawa berbagai bahan sesajian dan gulungan daun ke pondok/rumah dan disimpan di dekat lumbung padi.
Sesajin diletakkan di dekat lumbung padi di rumah/pondok. Selanjutnya para tetua kampung dan Belian membaca mantra-mantra yang isinya adalah rasa syukur dan permohonan keselamatan pada Tuhan  atas berkah dan panen padi yang melimpah dan dapat dimakan oleh anggota keluarga dengan selamat.

B.  Tradisi Lom Plai, Suasana Magis Pesta Panen Suku Dayak Wehea (Kalimantan Timur)

Tradisi pesta panen atau tradisi Lom Plai dengan serangkaian ritual dilaksanakan oleh Suku Dayak Wehea di Kalimantan Timur. Tradisi unik yang terkadang terasa mistis menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan. Saat fajar mulai menyingsing, kesibukan mulai terlihat hampir di seluruh pelosok Desa Long Wehea, Kalimantan Timur. Deretan rumah-rumah panggung, seolah serentak bangun dari tidurnya untuk menyambut puncak ritual pesta panen (Lom Plai) yang telah ditunggu selama sebulan penuh. Semuanya pun larut dalam kesibukan berbalut suasana kegembiraan.
 Pesta panen (Lom Plai) tiba, para tamu dari berbagai kampung akan datang. Pertanda pesta puncak Lom Plai segera dimulai. Seluruh warga di setiap rumah seakan berlomba untuk menyambut tamu, kerabat, atau orang-orang yang sekadar datang untuk menyaksikan ritual puncak nan unik ini.
Pada pagi hari, seluruh warga larut dalam kesibukan masing-masing. Para tamu dari luar kampung pun mulai berdatangan. Teriakan dalam bahasa Wehea mulai membahana, memanggil warga untuk berkumpul di beberapa tempat yang telah ditentukan.
Beragam persiapan telah selesai dipersiapkan untuk menggelar ritual. Di tepi Sungai Wehea, tampak beberapa perahu telah ditepikan. Ritual pertama pun siap digelar. Prosesi pertama yang akan dilakukan sebelum acara puncak adalah Seksiang. Seksiang adalah sebuah ritual perang-perangan dalam tradisi masyarakat Wehea yang selalu dilaksanakan pada puncak pesta panen tersebut sekaligus sebagai perlambang kesatriaan pendahulu mereka dimasa lalu.
Dengan berkelompok mereka menuruni titian dan jembatan panjang menuju tepian sungai tempat perahu ditambat. Para peserta upacara mengenakan pakaian tradisional yang dilengkapi dengan mandau atau sejenis parang dan perisai. Kemudian, satu persatu perserta ritual menaiki perahu untuk menuju ke hulu sungai.
Perlahan dayung pun dikayuh. Puluhan perahu berlomba menuju hulu sungai yang berada di sebuah tanjung untuk mengambil batang-batang sejenis rumput gajah bernama weheang. Keriuhan akibat teriakan-teriakan khas suku Wehea menjadi pelengkap persiapan. Mereka berlomba untuk memenuhi seisi perahu dengan tombak Weheang. Bayang-bayang peperangan terbersit dalam rona muka para pemuda Wehea. Sebentar lagi, mereka akan mempertontonkan serta melanjutkan tradisi para pendahulu mereka.
Semuanya telah siap melakukan perang! Mereka mengayuh perahu menuju bagian tengah sungai disertai teriakan-teriakan sekaligus mencari tantangan untuk memulai ritual. Semuanya berlomba untuk menunjukan siapa yang paling kuat di antara mereka. Sungai Wehea pun berubah menjadi medan perang. Puluhan tombak Weheang seolah beterbangan mencari sasaran.
Para pengunjung pun seakan tidak ingin melewatkan momen tersebut. Mereka berjejer di tepi sungai dan jembatan kampung. Wisatawan dan masyarakat desa berbaur untuk menyaksikan para pemuda beradu ketangkasan dalam melempar tombak Weheang. Namun, dalam ritual ini tidak ada yang menang ataupun kalah. Semuanya berakhir dan merapat tepat di bagian hilir kampung. Raut muka lelah membungkus wajah para pemuda yang ikut berperang.
Episode awal dari ritual puncak telah dilewati. Kini, saatnya untuk membersihkan diri melalui ritual lainnya, yaitu dalam ritual Peknai. Ritual ini diisi dengan acara siram-siaraman dan menggoreskan arang pada wajah semua warga termasuk pengunjung.
Setelah semua ritual awal dilaksanakan, saatnya beristirahat. Tanpa perlu membersihkan wajah yang penuh dengan goresan arang hitam, mereka larut dalam kegembiraan bersama. Seluruh rumah menyediakan aneka makanan yang dapat disantap oleh siapa saja. Tidak ketinggalan, makanan khas yang menjadi menu wajib dalam semua ritual adat Wehea, yaitu pluq (lemang) dan sambal psooh tersaji dan menggugah selera setiap pengunjung.
Jelang sore, kampung semakin ramai, para pengunjung pun mulai berdatangan dan memenuhi tanah lapang tempat ritual Lom Plai dilaksanakan. Para tetua adat laki-laki dan perempuan dengan pakaian tradisional Wehea pun mulai memasuki lokasi ritual.
Berjalan perlahan menuju sebuah telkeak yang didirikan sebagai tempat manaruh sesajen. Sesajen-sesajen yang tersebut akan dipersembahkan kepada para penguasa alam.
Sementara itu, terdengar jelas paluhan gong dan tetabuhan tewung dari dua arah berlawanan menjadi pertanda Hudoq telah datang. Suara-suara khas Hudoq mulai terdengar, hentakan kaki beradu dengan bunyi-bunyian gong dan tewung.
Kibasan pakaian khas Hudoq yang terbuat dari daun pisang serta beragam topeng Hudoq dan teriakan-teriakan khasnya menciptakan suasana yang berbeda sore ini. Kedua barisan penari akan bersatu dalam sebuah barisan panjang menuju telkeak dan berdiri di belakang para tetua adat perempuan yang duduk di atas tikar rotan.
Sekaranglah saatnya untuk memanggil roh Hudoq yang dipercaya berasal dari dalam tanah, air dan khayangan. Suara nyanyian dari para perempuan adat membahana di seantero areal ritual.
Mantra dan doa dalam bentuk nyanyian pun mulai dilafalkan. Bersamaan dengan itu, sesajen untuk para dewa telah disiapkan. Seekor anak ayam Sian, ditambah dengan telur ayam kampung serta lekok keptiaq, turut menjadi pelengkap yang dipersembahkan. Menggunakan sebilah pisau khas suku Dayak, seorang tetua adat mulai memotong leher anak ayam. Kemudian, darahnya dimasukan pada sebuah wadah untuk persembahan kepada para Hudoq. Secara berurutan, darah ayam dicerahkan pada seluruh penari Hudoq disertai taburan beras serta lekok keptiaq. Bersamaan dengan itu suara para penari Hudoq pun kembali membahana dalam ritual Lom Plai.
Hentakan kaki serta suara-suara khas bergema dan perlahan membentuk sebuah formasi melingkar. Semuanya menyatu dalam gerak dan irama paluhan gong dan tetabuhan tewung.
Suasana semakin meriah, saat Hudoq beraksi. Ribuan pasang mata seolah tidak ingin berkedip atau sekadar menonton momen tersebut. Para Hudoq benar-benar menjadi magis dalam ritual puncak. Gerak tari para penari Hudoq seakan membius siapa saja yang menyaksikannya tidak terkecuali para fotograger yang tidak ingin kehilangan momen sedetik pun.
Saat sore mendekati senja, ritual diselesaikan. Perlahan, para penari Hudoq serta penari lainnya meninggalkan tempat ritual untuk kembali lagi bersama dalam ritual yang berbeda saat embos epaq plai. Ini pun menjadi pertanda berakhirnya rangkaian ritual panjang selama Pesata Lom Plai.




   

Selasa, 15 Mei 2012

Batak tribe


Batak tribe

Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara.
Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: 
1.     Batak Toba
2.    Batak Karo
3.    Batak Pakpak
4.    Batak Simalungun
5.    Batak Angkola
6.    Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum).  Karena hingga sekarang belum ada
artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Kepercayaan
Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentangMulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
§  Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
§  Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
§  Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.
Salam khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya

1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”

Falsafah dan Sistem kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak

1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
§  Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
§  Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
§  Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.




Sabtu, 12 Mei 2012

glimpse of Dayak tribe


 glimpse of Dayak tribe


Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya = orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah Daya ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.

PEMBAGIAN SUB-SUB ETNIS

Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.

TRADISI PENGUBURAN SUKU DAYAK


Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
§  penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
§  penguburan di dalam peti batu (dolmen)
§  penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
1.    wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
2.   wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
1.    lubekng (tempat lungun)
2.   garai (tempat lungun, selokng)
3.   gur (lungun)
4.   tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1.    penguburan tahap pertama (primer)
2.   penguburan tahap kedua (sekunder).


Penguburan Primer

1.    Parepm Api (Dayak Benuaq)
2.   Kenyauw (Dayak Benuaq)


Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
§  dikubur dalam tanah
§  diletakkan di pohon besar
§  dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder

1.    Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai  simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2.   Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3.   Marabia
4.   Mambatur (Dayak Maanyan)
5.   Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)

 PENGADILAN ADAT SUKU DAYAK (DOLOB)

         Dolob adalah tradisi pengadilan adat khas Suku Dayak Agabag di Kalimantan Timur. Tradisi peninggalan leluhur ini masih hidup sampai sekarang dan masih dipraktekkan. Pengadilan ini sungguh unik dan sakti, tak bisa diintervensi oleh uang dan kekuasaan.
        Para tertuduh yang tidak mau mengakui kesalahannya dibawa ke sungai setempat oleh Ketua Adat, disaksikan beramai-ramai oleh penduduk setempat. Di sungai tersebut kemudian ditancapkan tonggak-tonggak kayu untuk pegangan para tertuduh dan upacara ritual Dolob segera dilaksanakan. Sang Ketua Adat kemudian berdoa memanggil roh-roh penguasa air, hutan dan gunung untuk datang. Upacaranya sungguh-sungguh mendatangkan suasana magis. Para tertuduh kemudian harus menyelam ke dalam air sambil berpegangan tonggak tersebut, dan keajaibanpun terjadilah!
        Para tertuduh yang tidak bersalah, sekalipun dia tidak biasa menyelam, bisa bertahan berjam-jam bahkan berhari-hari di dalam air dan tetap selamat tanpa cedera. Sedangkan yang bersalah, biarpun dia ahli menyelam, tak akan mampu bertahan lama. Kalau tertuduh yang bersalah nekad bertahan, maka dari hidung dan telinganya akan keluar darah, dan terpaksa menyerah untuk akhirnya mengakui perbuatannya.
         Menurut kesaksian orang yang pernah mengikutinya, jika orang yang tidak bersalah, ia merasa bisa bernafas biasa saja seperti sedang berada di darat. Tetapi bagi yang bersalah, maka ia merasa seperti diserang oleh segala macam binatang sungai semacam ular, ikan, buaya, dll, bahkan lumpur dan pasir menjadi hidup dan ikut menyerang dan masuk kedalam mata, hidung dan telinga!


Rabu, 09 Mei 2012

Sundanese ethnic culture



 Sundanese ethnic culture

Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Ini berarti begitu besar kaitan antara kebudayaan dengan masyarakat.
Melihat realita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural maka akan terlihat pula adanya berbagai suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa inilah yang kemudian mempunyai ciri khas kebudayaan yang beranekaragam. Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Pulau Jawa. Sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, suku Sunda memiliki karakteristik yang membedakannya dengan suku lain. Keunikan karakteristik suku Sunda ini tercermin dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya.
Suku Sunda dengan sekelumit kebudayaannya merupakan salah satu hal yang menarik untuk dipelajari secara mendalam.
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar Brebes (mencakup wilayah administrasi propinsi Jawa Barat, Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah). Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Kerana letaknya yang berdekatan dengan ibu kota negara maka hampir seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia terdapat di provinsi ini. 65% penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku Jawa yang banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat, Suku Betawi banyak mendiami daerah bagian barat yang bersempadan dengan Jakarta. Suku Minang dan Suku Batak banyak mendiami Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti Bandung, Cimahi, Bogor, Bekasi, dan Depok. Sementara itu Orang Tionghoa banyak dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat.

A. KEBUDAYAAN SUKU SUNDA

Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Kebudayaan- kebudayaan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :

1. KEPERCAYAAN

Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang tidak beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten Tetapi juga ada yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha. Selatan. Praktek-praktek sinkretisme dan mistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta.Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkan keseimbangan sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong). Hal yang menarik dalam kepercayaan Sunda, adalah lakon pantun Lutung Kasarung, salah satu tokoh budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang Tunggal (Guriang Tunggal) yang menitiskan sebagian  kecil diriNya ke dalam dunia untuk memelihara kehidupan manusia (titisan Allah ini disebut Dewata).  Ini mungkin bisa menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan Kabar Baik kepada mereka.

2. MATA PENCAHARIAN

Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau atauhidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda terutama adalah hal meningkatkan taraf hidup. Menurut data dari Bappenas (kliping Desember 1993) di Jawa Barat terdapat 75% desa miskin. Secara umum kemiskinan di Jawa Barat disebabkan oleh kelangkaan sumber daya manusia. Maka yang dibutuhkan adalah pengembangan sumber daya manusia yang berupa pendidikan, pembinaan, dll.

3. KESENIAN

KIRAB HELARAN

Kirap helaran atau yang disebut sisingaan adalah suatu jenis kesenian tradisional atau seni pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam bentuk helaran. Pertunjukannya biasa ditampilkan pada acara khitanan atau acara-acara khusus seperti ; menyambut tamu, hiburan peresmian, kegiatan HUT Kemerdekaan RI dan kegiatan hari-hari besar lainnya.

KARYA SASTRA
Di bawah ini disajikan daftar karya sastra dalam bahasa Jawa yang berasal dari daerah kebudayaan Sunda. Daftar ini tidak lengkap, apabila para pembaca mengenal karya sastra lainnya dalam bahasa Jawa namun berasal dari daerah Sunda,
1.     Babad Cerbon
2.    Cariosan Prabu Siliwangi
3.    Carita Ratu Galuh
4.    Carita Purwaka Caruban Nagari
5.    Carita Waruga Guru
6.    Kitab Waruga Jagat
7.    Layang Syekh Gawaran
8.    Pustaka Raja Purwa
9.    Sajarah Banten
10. Suluk Wuyung Aya
11.  Wahosan Tumpawarang
12. Wawacan Angling Darma
13. Wawacan Syekh Baginda Mardan
14. Kitab Pramayoga/jipta Sara

SENI TARI

a. TARI JAIPONGAN
Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaituKetuk Tilu.Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaituDegung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go’ong, Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan ‘Orkestra’ dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.

b. TARI MERAK
Sebenarnya di tanah Jawa ada beberapa tarian Merak, karena saya orang sunda jadi saya kupas sedikit tentang tarian ini.
Tari Merak merupakan tarian kreasi baru tanah Pasundan yang diciptakan oleh seorang koreografer bernama Raden Tjetjep Somantri pada tahun 1950an, dan tahun 1965 dibuat koreografi baru oleh dra. Irawati Durban Arjon dan di revisi kembali pada tahun 1985 dan diajarkan kepada Romanita Santoso pada tahun 1993 oleh dra. Irawati langsung.
Tari Merak sebenarnya menggambarkan tentang tingkah laku burung Merak jantan dengan keindahan bulu ekornya, banyak orang salah memperkirakan bahwa tarian ini tentang tingkah laku Merak betina.
Seperti halnya burung-burung lain burung Merak jantan akan berlomba-lomba menampilkan keindahan ekornya untuk menarik hati merak betina.
Merak jantan yang pesolek akan melenggang dengan bangga mempertontonkan keindahan bulu ekornya yang panjang dan berwarna-warni untuk mencari pasangannya, dengan gayanya yang anggun dan mempesona.
Tingkah laku burung Merak inilah yang divisualisasikan menjadi tarian Merak yang menggambarkan keceriaan, keanggunan gerak.
Pesona bulu ekor yang berwarna-warni diimplementasikan dalam kostum yang indah dengan sayap yang seluruhnya diberikan payet, dan hiasan kepala (mahkota) yang disebut “sigeur” dengan hiasan berbentuk kepala burung merak yang akan bergoyang mengikuti gerakan kepala sang penari.
Tarian ini sendiri banyak ditarikan di beberapa even baik Nasional maupun perkenalan budaya di luar negeri, bahkan tarian Merak ditampilkan juga sebagai tari persembahan dan penyambutan pengantin.

c. TARI TOPENG

SENI MUSIK DAN SUARA
Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sindenkarena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :

1.     Bubuy Bulan
2.    Es Lilin
3.    Manuk Dadali
4.    Tokecang
5.    Warung Pojok

WAYANG GOLEK
Jepang boleh terkenal dengan ‘Boneka Jepangnya’, maka tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik.

ALAT MUSIK

1.        Calung 
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).

2.       Angklung 
Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional

3.       Ketuk Tilu
Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup kegiatan atau diselenggrakan secara khusus di suatu tempat yang cukup luas. Pemunculan tari ini di masyarakat tidak ada kaitannya dengan adat tertentu atau upacara sakral tertentu tapi murni sebagai pertunjukan hiburan dan pergaulan. Oleh karena itu tari ketuk tilu ini banyak disukai masyarakat terutama di pedesaan yang jarang kegiatan hiburan.

4.       Seni Bangreng
Seni Bangreng adalah pengembangan dari seni “Terbang” dan “Ronggeng”. Seni terbang itu sendiri merupakan kesenian yang menggunakan “Terbang”, yaitu semacam rebana tetapi besarnya tiga kali dari alat rebana. Dimainkan oleh lima pemain dan dua orang penabu gendang besar dan kecil.

5.       Rengkong
Rengkong adalah salah satu kesenian tradisional yang diwariskan oleh leluhur masyarakat Sunda. Muncul sekitar tahun 1964 di daerah Kabupaten Cianjur dan orang yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkannya adalah H. Sopjan. Bentuk kesenian ini sudah diambil dari tata cara masyarakat sunda dahulu ketika menanam padi sampai dengan menuainya

6.       Kuda renggong 
Kuda Renggong atau Kuda Depok ialah salah satu jenis kesenian helaran yang terdapat di Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Karawang. Cara penyajiannya yaitu, seekor kuda atau lebih di hias warna-warni, budak sunat dinaikkan ke atas punggung kuda tersebut, Budak sunat tersebut dihias seperti seorang Raja atau Satria, bisa pula meniru pakaian para Dalem Baheula, memakai Bendo, takwa dan pakai kain serta selop.

7.       Kecapi Suling
Kacapi Suling adalah salah satu jenis kesenian Sunda yang memadukan suara alunan Suling dengan Kacapi (kecapi), iramanya sangat merdu yang biasanya diiringi oleh mamaos (tembang) Sunda yang memerlukan cengkok/ alunan tingkat tinggi khas Sunda. Kacapi Suling berkembang pesat di daerah Cianjur dan kemudian menyebar kepenjuru Parahiangan Jawa Barat dan seluruh dunia.

4. SISTEM KEKERABATAN

Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan.

5. BAHASA

SEJARAH & PENYEBARAN

Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya. Ironisnya, nama Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda. Mereka berpendapat bahwa nama ini merupakan nama Jawa yang “disundakan”, sebab pada abad ke-19 nama ini seringkali ditulis sebagai “Clacap”.

Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama “Dieng” yang dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna). Seiring mobilisasi warga suku Sunda, penutur bahasa ini kian menyebar. Misalnya, di Lampung, di Jambi, Riau dan Kalimantan Selatan banyak sekali, warga Sunda menetap di daerah baru tersebut.


Bahasa Sunda dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Sesuai dengan sejarah kebudayaannya, bahasa Sunda dituturkan di provinsi Banten khususnya di kawasan selatan provinsi tersebut, sebagian besar wilayah Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang), dan melebar hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah.

Dialek bahasa Sunda

Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang berbeda.


Dialek-dialek ini adalah:

* Dialek Barat

* Dialek Utara

* Dialek Selatan

* Dialek Tengah Timur

* Dialek Timur Laut

* Dialek Tenggara


Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan.

Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura.

Dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya.

Dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar Majalengka.

Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di beberapa bagian Brebes, Jawa Tengah.

Dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis.


Saat ini Bahasa Sunda ditulis dengan Abjad Latin.

-      Ada lima suara vokal murni (a, é, i, o, u)

-      dua vokal netral, (e (pepet) dan eu (ɤ),dan tidak ada diftong.

-      Fonem konsonannya ditulis dengan huruf p, b, t, d, k, g, c, j, h, ng, ny, m, n, s, w, l, r, dan y.

-      Konsonan lain yang aslinya muncul dari bahasa Indonesia diubah menjadi konsonan utama: f -> p, v -> p, sy -> s, sh -> s, z -> j, and kh -> h.


UNDAK – USUK

Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda – terutama di wilayah Parahyangan – mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan.


Di bawah ini disajikan beberapa contoh :

TEMPAT


** Bahasa Indonesia **

di atas ..

di belakang ..

di bawah ..

di dalam ..

di luar ..

di samping ..

di antara ..

dan ..


** Bahasa Sunda(normal) **

Di tukang ..

Di luhur..

Di handap ..

Di jero ..

Di luar ..

Di samping ..

Di antara ..

Jeung ..


** Bahasa Sunda(sopan/lemes) **

di pengker ..

di luhur ..

di handap ..

di lebet ..

di luar ..

di gigir ..

di antawis ..

sareng ..




WAKTU


** Bahasa Indonesia **

Sebelum ..

Sesudah ..

Ketika ..

Besok ..


** Bahasa Sunda(normal) **

Saacan ..

Sanggeus ..

Basa ..

Isukan ..


** Bahasa Sunda(sopan/lemes) **

Sateuacan ..

Saparantos ..

Nalika ..

Enjing ..


LAIN – LAIN


Bahasa Indonesia

Dari

Ada

Tidak

Saya


Bahasa Sunda(normal)

Tina

Aya

Embung

Urang


Bahasa Sunda(sopan/lemes)

Tina

Nyondong

Alim

Abdi


BILANGAN dalam BAHASA SUNDA


Bilangan Lemes


1 hiji

2 dua

3 tilu

4 opat

5 lima

6 genep

7 tujuh

8 dalapan

9 salapan

10 sapuluh


TRADISI TULISAN


Bahasa Sunda memiliki catatan tulisan sejak milenium kedua, dan merupakan bahasa Austronesia ketiga yang memiliki catatan tulisan tertua, setelah bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Tulisan pada masa awal menggunakan aksara Pallawa. Pada periode Pajajaran, aksara yang digunakan adalah aksara Sunda Kaganga. Setelah masuknya pengaruh Kesultanan Mataram pada abad ke-16, aksara hanacaraka (cacarakan) diperkenalkan dan terus dipakai dan diajarkan di sekolah-sekolah sampai abad ke-20. Tulisan dengan huruf latin diperkenalkan pada awal abad ke-20 dan sekarang mendominasi sastra tulisan berbahasa Sunda.



6. ADAT ISTIADAT

UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU SUNDA

Adat Sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaian acaranya dapat dilihat berikut ini.
1.     Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang berminat mempersunting seorang gadis.
2.    Lamaran. Dilaksanakan orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat. Disertai seseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau sirih pinang komplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut (pengikat). Cincin tidak mutlak harus dibawa. Jika dibawa, bisanya berupa cincin meneng, melambangkan kemantapan dan keabadian.
3.    Tunangan. Dilakukan ‘patuker beubeur tameuh’, yaitu penyerahan ikat pinggang warna pelangi atau polos kepada si gadis.
4.    Seserahan (3 – 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria membawa uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan, dan lain-lain.
5.    Ngeuyeuk seureuh (opsional, Jika ngeuyeuk seureuh tidak dilakukan, maka seserahan dilaksanakan sesaat sebelum akad nikah.)
·         Dipimpin pengeuyeuk.
·         Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa restu kepada kedua orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang atau benda yang disediakan berupa parawanten, pangradinan dan sebagainya.
·         Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk
·         Disawer beras, agar hidup sejahtera.
·         dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih sayang dan giat bekerja.
·         Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah tangga yang akan dibina masih bersih dan belum ternoda.
·         Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin pria). Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri.
·         Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh calon pengantin pria).
6.    Membuat lungkun. Dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan. Digulung menjadi satu memanjang. Diikat dengan benang kanteh. Diikuti kedua orang tua dan para tamu yang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikan kepada saudara dan handai taulan.
7.    Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rejeki dan disayang keluarga.
8.    Upacara Prosesi Pernikahan
·        Penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita
·        Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan.
·      Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani surat nikah.
·         Sungkeman,
·         Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.
·     Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantin dipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung.
·         Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria.
·         Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas kakinya dicuci dengan air bunga dan dilap pengantin wanita.

Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju pelaminan


7. RUMAH ADAT

Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog yang terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.
Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.
Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.
Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi untuk menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk ruang tidur, digunakan Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang yang digunakan untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga. Ruangan tengah digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk melaksanakan upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.
Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.

KESIMPULAN

Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Jawa. Suku Sunda memiliki karakteristik yang unik yang membedakannya dengan masyarakat suku lain. Kekharakteristikannya itu tercermin dari kebudayaan yang dimilikinya baik dari segi agama, bahasa, kesenian, adat istiadat, mata pencaharian, dan lain sebagainya.
Kebudayaan yang dimiliki suku Sunda ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya. Dengan membuat makalah suku Sunda ini diharapkan dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan suku Sunda tersebut dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.