Sabtu, 12 Mei 2012

glimpse of Dayak tribe


 glimpse of Dayak tribe


Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya = orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah Daya ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.

PEMBAGIAN SUB-SUB ETNIS

Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.

TRADISI PENGUBURAN SUKU DAYAK


Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
§  penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
§  penguburan di dalam peti batu (dolmen)
§  penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
1.    wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
2.   wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
1.    lubekng (tempat lungun)
2.   garai (tempat lungun, selokng)
3.   gur (lungun)
4.   tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1.    penguburan tahap pertama (primer)
2.   penguburan tahap kedua (sekunder).


Penguburan Primer

1.    Parepm Api (Dayak Benuaq)
2.   Kenyauw (Dayak Benuaq)


Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
§  dikubur dalam tanah
§  diletakkan di pohon besar
§  dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder

1.    Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai  simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2.   Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3.   Marabia
4.   Mambatur (Dayak Maanyan)
5.   Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)

 PENGADILAN ADAT SUKU DAYAK (DOLOB)

         Dolob adalah tradisi pengadilan adat khas Suku Dayak Agabag di Kalimantan Timur. Tradisi peninggalan leluhur ini masih hidup sampai sekarang dan masih dipraktekkan. Pengadilan ini sungguh unik dan sakti, tak bisa diintervensi oleh uang dan kekuasaan.
        Para tertuduh yang tidak mau mengakui kesalahannya dibawa ke sungai setempat oleh Ketua Adat, disaksikan beramai-ramai oleh penduduk setempat. Di sungai tersebut kemudian ditancapkan tonggak-tonggak kayu untuk pegangan para tertuduh dan upacara ritual Dolob segera dilaksanakan. Sang Ketua Adat kemudian berdoa memanggil roh-roh penguasa air, hutan dan gunung untuk datang. Upacaranya sungguh-sungguh mendatangkan suasana magis. Para tertuduh kemudian harus menyelam ke dalam air sambil berpegangan tonggak tersebut, dan keajaibanpun terjadilah!
        Para tertuduh yang tidak bersalah, sekalipun dia tidak biasa menyelam, bisa bertahan berjam-jam bahkan berhari-hari di dalam air dan tetap selamat tanpa cedera. Sedangkan yang bersalah, biarpun dia ahli menyelam, tak akan mampu bertahan lama. Kalau tertuduh yang bersalah nekad bertahan, maka dari hidung dan telinganya akan keluar darah, dan terpaksa menyerah untuk akhirnya mengakui perbuatannya.
         Menurut kesaksian orang yang pernah mengikutinya, jika orang yang tidak bersalah, ia merasa bisa bernafas biasa saja seperti sedang berada di darat. Tetapi bagi yang bersalah, maka ia merasa seperti diserang oleh segala macam binatang sungai semacam ular, ikan, buaya, dll, bahkan lumpur dan pasir menjadi hidup dan ikut menyerang dan masuk kedalam mata, hidung dan telinga!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar